Jumat, 28 Mei 2010

Ketika Anak Autis Menginjak Remaja

Ada kalanya orangtua tidak sadar anak penyandang autis bakal memasuki masa remaja penuh gejolak. Jika tidak dipersiapkan dengan baik akan muncul banyak masalah karena ketidakmampuan interaksi sosial pada diri anak.

Autis diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan otak yang menyebabkan hambatan interaksi sosial, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap yang tidak biasa, seperti tindakan sama yang berulang-ulang dan keterikatan berlebihan pada benda atau obyek tertentu. Autis empat kali lebih banyak menyerang anak laki-laki daripada anak perempuan.

Karena dianggap anak tidak bisa berinteraksi atau tidak peduli jika diajak bicara, orangtua sering kali enggan memberi informasi kepada anaknya yang autis tentang perubahan yang akan terjadi bila anak menginjak usia remaja.

Padahal, informasi ini penting agar anak autis paham bahwa ketika remaja beberapa bagian tubuhnya akan berubah. Emosinya juga semakin menggebu dan hasrat seksualnya mulai muncul.

”Anak autis itu seperti anak kecil. Meskipun kelihatannya cuek, ia bisa menyerap informasi yang dia terima. Soal cepat atau tidaknya informasi itu terserap, tergantung ketertarikannya pada persoalan tersebut,” kata Dyah Puspita (45), ibu seorang anak autis yang aktif di Yayasan Autisma Indonesia dan ikut mengelola Mandiga, sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Sekolah ini berlokasi di Rawamangun, Jakarta Timur.

Pendidikan seks

Ketiadaan informasi tentang perubahan yang akan dialami bisa membuat anak autis cemas dan takut terhadap tubuhnya sendiri. Pada tingkat lebih parah, kecemasan itu bisa menyebabkan anak menyakiti diri sendiri.

Pengetahuan itu diperoleh Ita, sapaan akrab Dyah Puspita, dari berbagai literatur yang dia baca dan juga pengalaman orangtua yang memiliki anak remaja autis. Karena itu, sejak dini Ita sudah mengajarkan pendidikan seks kepada Ikhsan Priatama (18), anak semata wayangnya, yang menyandang autis.

Melalui gambar manusia sejak bayi, anak-anak hingga dewasa, Ikhsan diajar beberapa bagian tubuhnya akan mengalami perubahan, seperti tumbuh rambut di bagian alat vital, tumbuh kumis, Proxy-Connection: keep-alive Cache-Control: max-age=0 au jenggot.

Ikhsan juga diajar suaranya akan berubah menjadi besar seperti ayahnya yang kini hidup berpisah dari Ikhsan dan ibunya. Pemahaman itu tidak langsung bisa diterima Ikhsan sehingga harus dilakukan berulang-ulang.

”Ikhsan tidak lagi kaget ketika tubuhnya menjadi bertambah tinggi, suaranya berubah, atau tumbuh rambut di sana-sini,” kata Ita. Meski begitu, sampai sekarang Ikhsan tidak suka melihat rambut di tangannya.

Bila tumbuh, Ikhsan bergegas mencukur habis rambut itu. Kata Ita, Ikhsan lebih suka tangannya mulus seperti anak-anak.

Anak autis juga perlu diarahkan untuk mengelola hasrat seksual. Karena tidak sadar lingkungan, anak autis yang tidak mendapat pengarahan bisa menyalurkan hasrat seksualnya di sembarang tempat.

Gayatri Pamoedji, ibu Ananda (18) yang juga menyandang autis dan tinggal di Perth, Australia, tidak melarang Ananda bermasturbasi ketika hasrat seksualnya muncul. ”Anak autis juga punya hak sama terhadap hasrat seksualnya seperti anak lain,” kata Gayatri yang mendirikan komunitas Masyarakat Peduli Autisme Indonesia (Mpati).

Hanya saja, orangtua perlu mengarahkan agar anaknya menyalurkan libidonya di tempat ”aman”. Kepada Ananda, Gayatri mengajarkan, jika hasrat seksualnya muncul, Ananda tidak boleh memegang penisnya di depan umum dan harus melakukan di dalam kamar sendiri setelah mengunci pintu.

”Bila seprai kotor, ia punya tanggung jawab membersihkan dan mengganti seprainya sendiri,” ungkap Gayatri. Ia memberi pendidikan seks kepada anaknya sejak Ananda berusia delapan tahun. Gayatri mengomunikasikan ”aturan” itu dengan gambar-gambar dan kata-kata yang mudah dipahami Ananda.

Ajarkan komunikasi

Untuk memberikan pemahaman kepada anak autis, kata Ita, langkah besar yang harus dilakukan orangtua adalah mengajarkan agar anaknya bisa berkomunikasi lebih dulu. Sayangnya, banyak orangtua ”memaksa” anaknya ikut terapi wicara karena ada anggapan bahasa verbal dianggap sebagai satu-satunya bentuk komunikasi.

”Komunikasi tidak harus dilakukan dengan berbicara. Banyak media lain bisa digunakan untuk komunikasi, seperti tulisan atau gambar,” kata Ita. Dengan metode gambar dan membaca global, yakni mencocokkan tulisan dengan benda nyata, Ikhsan bisa lancar membaca dan menulis. Kini mereka berkomunikasi dengan pesan singkat di telepon genggam atau kartu gambar.

Setelah bisa berkomunikasi, kata Ita, anak perlu disentil kesadaran sosialnya. Caranya, sama seperti mendidik anak pada umumnya, yaitu menerapkan disiplin dan konsekuensi. Anak autis diajarkan hubungan sebab-akibat dari perilaku mereka yang merugikan orang lain. Tentunya anak perlu diberi alasan kenapa mereka mendapat konsekuensi tersebut.

Untuk menegakkan disiplin, misalnya, Felicia (42), ibu yang bekerja swasta di Jakarta ini, tidak mau mengajak pergi Sultan (15), anaknya, jika ia masih suka marah-marah di depan umum. Belajar dari konsekuensi semacam itu, Sultan kini sudah lebih tertib bila diajak bepergian.

Dengan komunikasi, Ita juga bisa meredakan emosi Ikhsan. Anak autis biasanya memiliki emosi tinggi karena mereka tidak mampu mengungkapkan apa yang dia inginkan sehingga menjadi frustrasi.[\]
sumber : www.google.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar